Pages

Rabu, 04 Mei 2016

Perbandingan Budaya Indonesia dengan Jepang dan China

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
  1. Perbedaan Tradisi Pemilihan Nama dan Tanda Tangan           
Tradisi Penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia
  • Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
  • Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
  • Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
  • Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
  • Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam, seperti  : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis, seperti : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
Tradisi Penamaan di China
Sistem pemberian sebuah nama yang baik memang perlu untuk menyesuaikan dengan makna nama, unsur Yin dan Yang serta dibuat dengan mengikut perhitungan matematik Tiongkok kuno.
Terdapat lima aspek penting yang perlu diberi perhatian dalam memberi nama bayi yang baru lahir.
  1. Nama yang diberi haruslah mengandungi maksud yang baik seperti lambang kekayaan, kemewahan dan kesejahteraan.
  2. Bunyi nama mestilah sedap didengar.
  3. Nama mestilah dibuat berdasarkan kiraan matematik yaitu angka yang berhasil dan tidak bertentangan dan yang sepadan.
  4. Nama yang diberikan haruslah mempunyai pertimbangan unsur Yin dan Yang yang sama berat.
  5. Nama mestilah mempunyai lima unsur yaitu emas, air, api, tanah dan kayu serta saling melengkapi.
Oleh karena itu, maka nama seorang bayi haruslah disusun secara seimbang dengan mengandung unsur Yin dan Yang. Kegagalan memberikan nama yang baik juga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang, seperti akan ditimpa kecelakaan atau mendapat kesejahteraan.
Tradisi Penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家) dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
  1. Pemakaian Gesture/Gerak Tubuh Untuk Memberikan Penghormatan dan Kasih Sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang,China dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.
Ojigi

Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼).
Ritsurei
Ritsurei adalah ojigiyang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.
Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Penghormatan dewa-dewi
Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup.
Penghormatan leluhur
Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.
Baik budaya Jepang, China maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang,China maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
  1. Perbedaan Budaya Makan dan Minum
Di China
Budaya makan
Dalam masakan Cina, setiap orang diberikan semangkuk nasi sementara hidangan disajikan di atas piring yang juga dimiliki oleh semua orang yang duduk di meja. Dalam masakan Cina, setiap orang mengambil makanan dari piring secara gigitan demi gigitan dengan sumpit mereka. Hal ini berbeda dengan makanan Barat di mana itu adat untuk membagikan dengan porsi hidangan di awal makan. Masakan yang dipilih sering dimakan bersama-sama dengan sesuap nasi. Jika makanan penutup disajikan di akhir makan, sejauh ini pilihan yang paling khas adalah buah segar, seperti irisan jeruk. Kedua pilihan yang paling populer adalah jenis sup manis, biasanya dibuat dengan kacang merah dan gula. Sup ini disajikan hangat.
Budaya minum
Dalam budaya Cina, minuman dingin diyakini berbahaya bagi pencernaan makanan panas, jadi minuman seperti es-air dingin atau minuman ringan secara tradisional tidak dilayani pada saat makan. Selain masakan sup, jika ada minuman lain yang disajikan, mereka kemungkinan besar akan memilih teh panas atau air panas. Teh dipercaya untuk membantu dalam pencernaanmasakan berminyak.
Di Jepang
Budaya Makan
Jepang terkenal dengan makanan yang segar dengan cita rasa masih asli, mungkin orang Indonesia menyebutnya dengan mentah atau setengah matang. Akan tetapi makan Jepang disebut sebagai The Healthy food in The World karena kesegarannya. Dari semua masakan Jepang yang paling sulit ditemukan adalah ke Halalan, karena kebanyakan komposisinya menggunakan bahan dari daging babi.
Saat akan makan sebaiknya kamu mengucapkan “itadakimasu” dan mengambil sumpit yang disediakan. Hal yang kurang sopan dan tidak boleh dilakukan saat makan adalah bersendawa, menancapkan sumpit di nasi, menjilat sumpit, meletakkan sumpit secara silang, mengaduk sup dengan sumpit, menerima makanan dari orang lain, menggali makanan, menggunakan untuk menunjuk orang dan memotong makanan. Hal yang mungkin berbeda dengan budaya kita adalah mengeluarkan suara saat makan sup merupakan bentuk rasa senang dan menikmati makanan, jika di Indonesia mungkin itu adalah hal yang kurang sopan.
Budaya minum
Teh dan sake adalah minuman yang sangat terkenal di Jepang. Aturan saat minum teh juga harus dipahami, cara duduknya adalah dengan bersimpuh sama seperti para sinden jawa saat menyanyi di kesenian wayang. Sebelum menengguk teh, cangkir diletakkan di telapak tangan kiri dan putar cangkir sekitar 180 derajat dengan tangan kanan. Jangan sampai lupa hal ini jika kamu tidak ingin dianggap tidak sopan, karena motif cangkir harus terlihat yang mengartikan bahwa kamu benar-benar menikmati tehnya.
Minum sake sudah menjadi budaya sejak lama di Jepang. Biasanya akan dilakukan setelah pulang kerja atau di malam hari. Saat minum sake bersama harus menunggu seseorang mengatakan “kampai”, baru yang lainnya bisa minum. Ketika ingin menuang sake, hendaknya tuang juga untuk yang lainnya. Jika ada gelas yang kosong pasti aka nada orang lain yang mengisisnya, jadi jika kamu sudah merasa pusing dan tidak ingin minum, sebaiknya habiskan sake dalam gelas kamu sampai acara selesai jangan sekali teguk.
Di Indonesia
Budaya Makan
Kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia yang sering mengacaukan piramida tersebut antara lain sebagai berikut, Nasi segunung protein sedikit, sedikit-dikit sambal, kebanyakan santan, gila-gilaan makan jeroan, dan kurang sayur dan buah.
Masakan Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi berasal dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000 pulau dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh melalui perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.
Pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal “masakan Indonesia”, tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh Kebudayaan Indonesia serta pengaruh asing. Sebagai contoh, beras yang diolah menjadi nasi putih, ketupat atau lontong (beras yang dikukus) sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia namum untuk bagian timur lebih umum dipergunakan juga jagung, sagu, singkong, dan ubi jalar. Bentuk lanskap penyajiannya umumnya disajikan di sebagian besar makanan Indonesia berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur disisi piring.
Budaya Minum
Teh, adalah salah satu minuman yang tidak asing di Indonesia. Berbagai daerah memiliki hidangan the yang berbeda-beda.
Seperti di Yogjakarta, jenis teh yang dihidangkan dan cara meminumnya pun agak berbeda, Nasgitel menggunakan “teh merah” atau “teh hitam” yang dipadu dengan “gula batu” yang sangat manis. Penyajiannya biasanya berupa kotokan (daun teh kering) yang diseduh dengan air mendidih, disajikan dalam gelas plus beberapa butir gula batu yang disajikan terpisah. Setelah seduhan teh dihidangkan, pelanggan biasanya segera memasukkan gula batu kedalamnya. Proses ini sampai dengan wedang teh siap diminum memerlukan waktu sekitar 10 menit, sambil menunggu biasanya pelanggan akan menikmati makanan kecil seperti ketela goreng, pisang goreng, singkong rebus, uli (juadah) dan lain sebagainya.
Demikian juga mengenai kebiasaan minum teh di tataran Sunda. Dahulu, mereka meminum teh memakai mangkok dari batok kelapa dan tatakan dari bambu sambil menghangatkan badan di dekat perapian. Kebiasaan ini biasa disebut sebagai “nganyeut”.
Sedangkan di wilayah Jawa Timur khususnya Surabaya, walaupun di daerah Lawang-Wonoasri Jatim terdapat berhektar-hektar kebun teh, minuman ini masih dianggap sesuatu yang mewah untuk menyuguhi tamu. Dan sampai saat ini, jika teh disajikan tanpa gula adalah minuman aneh, tidak mengherankan jika teh hijau kemasan yang non sugar di supermarket- supermarket di Surabaya selalu rapi tak tersentuh.

Postingan ini untuk memenuhi tugas Softskill Ilmu Budaya Dasar.

0 komentar:

Posting Komentar